PENGANTAR TAFSIR
I. KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr Wb
Puji
serta syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatNya
kepada kita sehingga makalah ini dapat kami selesaikan bersama tepat pada waktunya.
Dan
tidak lupa pula salawat beiring salam kita sanjung sajikan kepangkuan
alam yaitu nabi besar Muhammad saw. Yang mana beliau telah membawa kita
dari alam kebodohan ke alam yang berilmu pengetahuan, sehingga kita
dapat mengenal ilmu pengetahuan.
II. PENDAHULUAN
Tafsir merupakan ilmu untuk memahami kitab Allah SWT., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Tafsir menurut lughat (bahasa), ialah: “menerangkan dan menyatakan”. Kata Tafsir, diambil dari kata tafsirah, yaitu: perkakas yang dipergunakan tabib.
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan tentang tafsir:
a. Menurut Al-Kilby.
b. Menurut Az-Zarkasyi.
c. Menurut Shahibut Taujih, Asy Syeikh Thahir al Jazairi.
d. Menurut Al Jurjany.
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir
Menurut
pengertian terminologi, seperti dinukil Al-Hafizh As-Suyuthi dari
Al-Imam Az-Zarkasyi, tafsir ialah ilmu untuk memahami kitab Allah SWT., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Tafsir menurut lughat (bahasa), ialah: “menerangkan dan menyatakan”. Menurut Istilah adalah sebagai di bawah ini:
Kata Al-Kilby dalam At Tas-Hiel: “Tafsir
itu, ialah: mensyaratkan Al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan
apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, ataupun
dengan najuahnya”.
Kata Az-Zarkasyi dalam Al Burahman: “Tafsir itu, ialah: menerangkan makna-makna Al-Quran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.
Kata Shahibut Taujih, Asy Syeikh Thahir al Jazairi: “Tafsir,
pada hakikatnya adalah: mensyaratkan lafaz yang sukar dipahamkan oleh
pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu
adakalanya dengan menyebut muradifnya, atau mendekatinya, atau ia
mempunyai petunjuk kepadanya melalui sesuatu jalan adalah (petunjuk)”.
Kata Al Jurjany: “Tafsir, pada asalnya, ialah: membuka dan melahirkan”.
Dalam istilah Syara’ ialah: menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya
dan sebab diturunkannya ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya
secara terang.
Kata Tafsir, diambil dari kata tafsirah, yaitu: perkakas yang dipergunakan tabib untuk mengetahui penyakiy orang sakit.
1. Tafsir Secara Bahasa
Secara
etimologi, tafsir berarti menjelaskan (al-idhah), menerangkan
(al-tibyan), menampakan (al-izhar), menyibak (al-kasyf) dan merinci
(al-tafshil). Kata tafsir terambil dari kata al-fasr yang berarti
al-ibanah dan al-kasyf yang keduanya berarti membuka (sesuatu) yang
tertutup (kasyfu al-mughaththa). Sebagian ulama lainnya menyatakan bahwa
kata tafsir terambil dari kata at-tafsirah, dan bukan dari kata al-fasr
yang berarti “sebutan bagi sedikit air yang digunakan oleh seorang
dokter untuk mendiagnonis penyakit pasien”.
Ar-Raghib
al-Asfahani (502 H/1108 M) menyatakan bahwa kata al-fasr dan al-safr
memiliki kedekatan makna dan pengertian karena keduanya memiliki
kemiripan lafal. Hanya, lanjut ar-Raghib, kata al-fasr lazim digunakan
untuk menjelaskan sebuah konsep atau makna yang memerlukan penalaran
(al-ma’na al-ma’qul), sementara kata al-safr biasa digunakan untuk
menampakan benda-benda fisik-materi yang bisa dikenali oleh mata kepala
pancaindera.
2. Tafsir Secara Istilah
Pengertian
tafsir secara istilah menurut al-Kalby di dalam kitabnya at-Tashil
“mensyarhakan al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya ataupun dengan
najuannya”. Sedangkan menurut az-Zarkasyi di dalam kitab Burhannya
“menerangkan makna-makna al-quran beserta mengeluarkan hukum-hukum dan
hikmah-hikmahnya”. Menurut hakikatnya tafsir ialah “mensyarahkan lafadz
yang sulit dipahami oleh pendengar dengan uraian yang menjelaskan
maksud. Yang demikian itu adakalanya dengan menyebut muradifnya atau
yang mendekatinya atau ia mempunyai petunjuk kepadanya melalui beberapa
petunjuk” seperti yang diungkapkan asy-Syikh Thahir al-Jazairi.
3. Perbedaan tafsir dan takwil
Sebagian
ulama mengatakan bahwa tafsir dan takwil memiliki kesamaan arti seperti
apa yang diyakini oleh Abu Ubaidah. Namun hamper semua ulama mengatakan
bahwa tafsir dan takwil memiliki perbedaan. Ar-Raghib berpendirian
bahwa makna tafsir lebih umum daripada takwil, atau sebaliknya, makna
takwil lebih khusus daripada tafsir. Istilah tafsir lebih banyak
digunakan dalam konteks lafal dan makna mufradat, sedangkan penggunaan
takwil lebih banyak dihubungkan dengan persoalan makna (isi) dari
rangkaian pembicaraan secara keseluruhan (utuh). Menuryt al-Thabarsi
(hidup pada awal abad enam Hijriah), tafsir adalah upaya menyibak
pengertian dari lafal yang musykil, sedangkan takwil adalah upaya
mengembalikan salah satu dari dua makna yang dimungkinkan kea rah
pengertian yang lebi sesuai dengan makna lahir.
Abu
Thalib al-Tsa’labi: “Tafsir adalah menerangkan objek lafal (redaksi
teks) dari sisi pandang hakiki atau majazi. Misalnya, menafsirkan kata
ash-shirath dengan ath-thariq, yakni jalan dan kata ash-shayyib dengan
kata al-mathar, yakni hujan. Takwil bermaksud menafsirkan substansi teks
(bathin al-lafzh)”. Jadi, dapat dikatakan bahwa takwil lebih
berorientasi pada pengabaran tentang hakikat sesuatu yang dikehendaki,
sedangkan tafsir lebih mengedepankan berita-informasi tentang dalil
(petunjuk) yang dikehendaki. Alasannya, lafallah yang menyibak tentang
apa yang dikehendaki itu, sedangkan upaya menyibak itu sendiri dinamakan
dalil (yang menunjukkan).
Sebagian
ulama lainnya berpendapat bahwa tafsir lebih banyak berhubungan dengan
hal-hal yang bersifat pendengaran atau periwayatan (riwayah), sedangkan
takwil lebih banyak dikorelasi dengan hal-hal yang bersifat penalaran
(dirayah). Abu Nashr al-Qusyairi menyatakan bahwa tafsir hanya terbatas
pada ayat-ayat Alquran yang lebih mengandalkan sumber-sumber penglihatan
dan pendengaran (al-ittiba’ wa al-sima’). Ini berbeda dengan takwil
yang pemahamannya lebih banyak bergantung pada hal-hal yang bersifat
ijtihad (al-isthimbat). Dengan kalimat lain, tafsir lebih banyak mengacu
pada riwayah (pendengaran), sedangkan takwil pada dirayah (analisis).
Tafsir dapat dibagi menjadi tiga jenis:
a. Tafsir riwayat
Tafsir riwayat sering juga disebut dengan istilah tafsir naql atau tafsir ma'tsur.
Cara penafsiran jenis ini bisa dengan menafsirkan ayat al-Quran dengan
ayat al-Quran lain yang sesuai, maupun menafsirkan ayat-ayat al-Quran
dengan nash dari as-Sunnah. Karena salah satu fungsi as-Sunnah adalah
menafsirkan al-Quran.
b. Tafsir dirayah
Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi ra'yi. Tafsir dirayah adalah dengan cara ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat.
Tafsir
dirayah bukanlah menafsirkan al-Quran berdasarkan kata hati atau
kehendak semata, karena hal itu dilarang berdasarkan sabda Nabi:
"Siapa
saja yang berdusta atas namaku secara sengaja niscaya ia harus bersedia
menempatkan dirinya di neraka. Dan siapa saja yang menafsirkn al-Quran
dengan ra'yunya maka hedaknya ia bersedia menempatkan diri di neraka." (HR. Turmudzi dari Ibnu Abbas)
"Siapa yang menafsirkan al-Quran dengan ra'yunya kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan" (HR. Abi Dawud dari Jundab).
Ra'yu yang dimaksudkan oleh dua hadits di atas adalah hawa nafsu.
Hadits-hadits
di atas melarang seseorang menafsirkan al-Quran tanpa ilmu atau
sekehendak hatinya tanpa mengetahui dasar-dasar bahasa dan syariat
seperti nahwu, sharaf, balaghah, ushul fikih, dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, tafsir dirayah ialah tafsir yang sesuai dengan tujuan syara',
jauh dari kejahilan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa
Arab serta berpegang pada uslub-uslubnya dalam memahami teks al-Quran.
c. Mufassir
Seorang mufassir adalah seorang yang mengartikan seuah ayat dalam arti yang lain/arti yang mirip.
B. Sejarah dan Perkembangan Tafsir
Adapun secara terminologi tafsir adalah penjelasan terhadap Kalamullah atau menjelaskan lafadz-lafadz al-Qur’an dan pemahamannya.
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang
merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir
telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman
modern sekarang ini. Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi
empat periode yaitu :
1. Pertama, Tafsir Pada Zaman Nabi.
Al-Qur’an
diturunkan dengan bahasa Arab sehingga mayoritas orang Arab mengerti
makna dari ayat-ayat al-Qur’an. Sehingga banyak diantara mereka yang
masuk Islam setelah mendengar bacaan al-Qur’an dan mengetahui
kebenarannya. Akan tetapi tidak semua sahabat mengetahui makna yang
terkandung dalam al-Qur’an, antara satu dengan yang lainnya sangat
variatif dalam memahami isi dan kandungan al-Qur’an. Sebagai orang yang
paling mengetahui makna al-Qur’an, Rasulullah selalu memberikan
penjelasan kepada sahabatnya, sebagaimana firman Allah ,” keterangan-keterangan
(mu’jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar
kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada
mereka supaya mereka memikirkan.
2. Tafsir Pada Zaman Sahabat
Adapun
metode sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an adalah; Menafsirkan
Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, menafsirkan Al-Qur’an dengan sunnah
Rasulullah, atau dengan kemampuan bahasa, adat apa yang mereka dengar
dari Ahli kitab (Yahudi dan Nasroni) yang masuk Islam dan telah bagus
keislamannya.
Diantara
tokoh mufassir pada masa ini adalah: Khulafaurrasyidin (Abu Bakar,
Umar, Utsman, Ali), Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin
Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair dan Aisyah. Namun yang
paling banyak menafsirkan dari mereka adalah Ali bin Abi Tholib,
Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas yang mendapatkan do’a dari
Rasulullah.
Penafsiran shahabat yang didapatkan dari Rasulullah kedudukannya sama dengan hadist marfu’. Atau paling kurang adalah Mauquf.
3. Tafsir Pada Zaman Tabi’in
Metode
penafsiran yang digunakan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan masa
sahabat, karena para tabi’in mengambil tafsir dari mereka. Dalam periode
ini muncul beberapa madrasah untuk kajian ilmu tafsir diantaranya:
a. Madrasah
Makkah atau Madrasah Ibnu Abbas yang melahirkan mufassir terkenal
seperti Mujahid bin Jubair, Said bin Jubair, Ikrimah Maula ibnu Abbas,
Towus Al-Yamany dan ‘Atho’ bin Abi Robah.
b. Madrasah
Madinah atau Madrasah Ubay bin Ka’ab, yang menghasilkan pakar tafsir
seperti Zaid bin Aslam, Abul ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al-Qurodli.
Dan
c. Madrasah
Iraq atau Madrasah Ibnu Mas’ud, diantara murid-muridnya yang terkenal
adalah Al-Qomah bin Qois, Hasan Al-Basry dan Qotadah bin Di’amah
As-Sadusy.
Tafsir
yang disepakati oleh para tabiin bisa menjadi hujjah, sebaliknya bila
terjadi perbedaan diantara mereka maka satu pendapat tidak bisa
dijadikan dalil atas pendapat yang lainnya.
4. Tafsir Pada Masa Pembukuan
Pembukuan tafsir dilakukan dalam lima periode yaitu;
Periode
Pertama, pada zaman Bani Muawiyyah dan permulaan zaman Abbasiyah yang
masih memasukkan ke dalam sub bagian dari hadits yang telah dibukukan
sebelumnya. Periode Kedua, Pemisahan tafsir dari hadits dan
dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan
meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut, seperti yang
dilakukan oleh Ibnu Jarir At-Thobary, Abu Bakar An-Naisabury, Ibnu Abi
Hatim dan Hakim dalam tafsirannya, dengan mencantumkan sanad
masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat dan para tabi’in.
Periode Ketiga, Membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya
dan menukil pendapat para ulama’ tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini
menyulitkan dalam membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif
yang menyebabkan para mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa
melihat kebenaran atau kesalahan dari tafsir tersebut. Sampai terjadi
ketika mentafsirkan ayat.
C. Tokoh-Tokoh Tafsir
1. Baqi Bin Mokhallad (W. 000 H).
2. Ibnu Abu Zamanein (W. 399 H).
3. Ibnu Omar el Dani.
4. Ibnu Hazm Andalusia (W. 456 H).
5. Al Thurthuchi (W. 520 H).
6. Ibnu Barrajan (W. 536 H).
7. Ibnu Al Aram (W. 543 H).
8. Ibnu Athiya (W. 543 H).
9. Ibnu Faras (W. 597 H).
10. Imam Al Qurthubi (W. 671 H).
11. Ibnu Zuber Gharnati (W. 708 H).
12. Ibnu Julel Kalbi (W. 741 H).
13. Abu Hayyan Gharmati (W. 745 H).
14. Imam Asy Syathibi (W. 790 H).
IV. KESIMPULAN
Tafsir merupakan ilmu untuk memahami kitab Allah SWT., yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya, menyimpulkan hikmah dan hukum-hukumnya.
Tafsir menurut lughat (bahasa), ialah: “menerangkan dan menyatakan”. Kata Tafsir, diambil dari kata tafsirah, yaitu: perkakas yang dipergunakan tabib.
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan tentang tafsir:
a. Menurut Al-Kilby ialah “Tafsir
itu, ialah: mensyaratkan Al-quran, menerangkan maknanya dan menjelaskan
apa yang dikehendakinya dengan nashnya atau dengan isyaratnya, ataupun
dengan najuahnya”.
b. Menurut Az-Zarkasyi ialah “Tafsir itu, ialah: menerangkan makna-makna Al-Quran dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya”.
c. Menurut Shahibut Taujih, Asy Syeikh Thahir al Jazairi ialah “Tafsir,
pada hakikatnya adalah: mensyaratkan lafaz yang sukar dipahamkan oleh
pendengar dengan uraian yang menjelaskan maksud. Yang demikian itu
adakalanya dengan menyebut muradifnya, atau mendekatinya, atau ia
mempunyai petunjuk kepadanya melalui sesuatu jalan adalah (petunjuk)”.
d. Menurut Al Jurjany ialah “Tafsir, pada asalnya, ialah: membuka dan melahirkan”.
Dalam istilah Syara’ ialah: menjelaskan makna ayat, urusannya, kisahnya
dan sebab diturunkannya ayat, dengan lafaz yang menunjuk kepadanya
secara terang.
Tafsir
menurut bahasa adalah penjelasan atau keterangan, seperti yang bisa
dipahami dari Quran S. Al-Furqan: 33. ucapan yang telah ditafsirkan
berarti ucapan yang tegas dan jelas.
Menurut istilah, pengertian tafsir adalah ilmu yang mempelajari kandungan kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW., berikut penjelasan maknanya serta hikmah-hikmahnya. Sebagian ahli tafsir mengemukakan bahwa tafsir adalah ilmu yang membahas tentang al-Quran al-Karim dari segi pengertiannya terhadap maksud Allah sesuai dengan kemampuan manusia. Secara lebih sederhana, tafsir dinyatakan sebagai penjelasan sesuatu yang diinginkan oleh kata.
Tafsir dapat dibagi menjadi tiga jenis:
a. Tafsir riwayat (Tafsir riwayat sering juga disebut dengan istilah tafsir naql atau tafsir ma'tsur).
b. Tafsir dirayah (Tafsir dirayah disebut juga tafsir bi ra'yi. Tafsir dirayah adalah dengan cara ijtihad yang didasarkan pada dalil-dalil yang shahih, kaidah yang murni dan tepat).
c. Mufassir. (Seorang mufassir adalah seorang yang mengartikan seuah ayat dalam arti yang lain/arti yang mirip).
DAFTAR PUSTAKA
Meragu, Ahmad Mustafa Al. 1986. Terjemah Tafsir Al-Maragi. Semarang: CV Toha Putra.
Ruchiyat, KH. Muh Ilyas. 1997. Ringkasan Shasih Al-Bukhari. Bandung: MIzan.
Asa, Cyu’Bah. 2000. Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
0 komentar:
Posting Komentar